Artikel Unggulan

Makna IP Rating pada Gawai

Kita sering menemukan istilah IP sekian-sekian ketika sedang membaca spesifikasi teknis sebuah gawai. Kode ini umumnya digunakan untuk meruj...

[Idea] Mobil Murah untuk Indonesia, Seberapa Pentingnya?

Baru² ini Jakarta dikejutkan dengan rencana Kebijakan Mobil Murah di ajang IIMS yang baru saja berlalu. Terus terang, kebijakan ini sangat bertentangan dengan rencana kerja Gubernur DKI Jakarta yang sedang berjalan saat ini, yaitu pembangunan MRT dan peremajaan armada angkutan umum yang sudah tidak layak, menjadikannya kembali aman dan nyaman. Diharapkan, dengan adanya angkutan umum yg aman dan nyaman serta terpadu kelak, dapat memberikan solusi terhadap kemacetan di Jakarta yang seolah tiada berujung itu.



Agak absurd juga sih, kenapa alasan mobil murah ini dianggap bisa menjadikan negara ini sebagai developed country, entah apapula parameternya. Padahal, dulu kita pernah diajarkan bahwa kebutuhan manusia itu ada 3 yang utama, yaitu sandang, pangan, papan. Sandang itu pakaian yang kita kenakan, pangan itu sembako dan papan, yaitu tempat tinggal yang layak. Mestinya 3 hal itu yang dipenuhi lebih dulu oleh pemerintah kita. Sekarang coba kita tengok, negara yang katanya agraris ini, sebagian besar bahan pangannya serba impor. Sebagai contoh bahan baku tempe yang berupa kedelai, entah mengapa, kedelai saja kita impor dari negara lain. Bukankah dulu pertanian kita sedemikian hebatnya? Sampai surplus segala produksinya dan sempat dinobatkan sebagai periode swasembada pangan. Gw ingat, dulu setelah panen padi, ada masa² lahan ditanami palawija, sehingga 1 lahan saja bisa demikian produktifnya. Selain kebutuhan pangan, sebagian besar rakyat Indonesia juga masih membutuhkan tempat tinggal yang layak dan terjangkau. Coba kita tengok saja kebijakan pengetatan persyaratan kredit, yang tadinya ditujukan untuk menahan laju kepemilikan kendaraan bermotor, berimbas juga pada kredit kepemilikan rumah. Dulu, orang bisa nebus motor dengan modal duit 500 ribu rupiah, dengan jumlah cicilan dan tempo yang bervariasi. Sekarang, dengan adanya kebijakan DP minimal 30%, orang jadi lebih susah untuk bisa memiliki kendaraan bermotor, apalagi punya rumah. Mestinya kebijakan ini lebih spesifik lagi diterapkannya, apakah kredit tsb untuk kepemilikan kendaraan bermotor atau justru untuk KPR. 


Nah, dari hal² di atas, mestinya kita sudah bisa punya gambaran, mana yg termasuk kebutuhan primer (pokok) dan mana yg kebutuhan sekunder atau tersier. Kendaraan bermotor, seperti motor atau mobil, mungkin jadi kebutuhan primer jika jadi lahan penghasilan, tapi bisa jadi kebutuhan sekunder atau tersier. Dalam konteks permasalahan kemacetan di Jakarta, mestinya populasi kendaraan bermotor yang baru mesti dibatasi. Bila perlu, 1 keluarga hanya 1 mobil dan 1 motor, sedangkan untuk kepemilikan sepeda bebas. Dengan demikian, akan terwujud keluarga yang sehat secara fisik, mental dan finansial. Jika memang ada kebijakan kendaraan tua dilarang masuk Jakarta, beri opsi dan subsidi, untuk menggantinya dengan kendaraan baru yg hemat, murah dan aman, namun tetap 1 keluarga 1 mobil.



Untuk kebijakan MRT dari Pemda DKI, mesti kita dukung penuh, agar terwujud transportasi umum massal yg nyaman dan aman. Selain itu, aspek lahan parkir yang layak secara luas areal dan keamanan juga mesti diperhatikan. Mengingat di negara² lain, setiap stasiun memiliki lahan parkir yang layak untuk menitipkan kendaraan pribadi masing², sehingga pengguna jasa transportasi dapat melakukan perjalanan dengan tenang dengan transportasi umum yang dia kehendaki.

Jadi menurut gw, pemerintah harus fokus pada solusi masalah, bukan dengan menambah masalah baru. Kebijakan mobil murah tidak cocok diterapkan untuk saat ini. Yang tepat adalah perbaikan layanan transportasi massal umum sehingga pengguna kendaraan pribadi bisa beralih ke transportasi umum.

Sekian catatan dari saya, terima kasih :)


[Story] Waspada Memilih Sekolah Dasar (Swasta)!

Pernahkah kalian para orangtua merasa aneh terhadap perkembangan intelegensi dan akademis anak² kita? Yang mana sebelumnya kita yakin bahwa anak² kita memiliki perkembangan yang bagus dan baik² saja?
Gw pernah! Dan inilah cerita gw..


Khansa, anak gw yg pertama, sejak lulus TK masuk sekolah SDIT di lingkungan dekat rumah kami. Selama 3 tahun berjalan, gw pikir semuanya berjalan normal dan lancar. Ada sih kendala akademis, tapi berdasarkan informasi saat itu bukan masalah besar buat anak gw, masih bisa ngejarlah. Sampai pada suatu ketika, karena satu dan banyak hal, gw terpaksa harus memindahkan sekolah anak gw dari SDIT ke SD Negeri.

Awalnya gw pikir wajar, anak gw kesulitan dalam beradaptasi di lingkungan sekolah negeri, karena perbedaan cara ajar dll. Tapi setelah sekian bulan berjalan, gw merasa kaget-sekaget-kagetnya, karena ternyata tingkat pemahaman anak gw terhadap materi pelajaran sangatlah rendah. Setelah gw telusuri lebih jauh, ternyata perbedaan pola ajar di SDITlah yang menyebabkan semua ini terjadi. Di sekolah swasta, anak murid serba dilayani sampai bisa mengerjakan suatu hal, tanpa mempedulikan sebetulnya anak itu sudah memahami persoalannya atau belum. Gap inilah yang kemudian muncul akibat perbedaan pola ajar. Gw itu produk sekolah negeri, gak belajar, ya gak tau. Guru pun ngasih tau hanya kail, bukan umpan, bukan pula ikan. Gw merasa terkecoh selama menyekolahkan anak gw di sekolah swasta, mengingat laporan tiap rapotan menyebutkan perkembangan anak gw baik² saja. Dan sekaranglah hasilnya baru terungkap.


Namanya sekolah negeri, pe'er atau tugas itu bejibun banyaknya. Dan semua tugas tersebut ada tenggat waktunya, kapan mesti dikumpulkan. Dulu waktu anak gw sekolah swasta, gak ada namanya pe'er atau tugas dikerjakan di rumah. Perbedaan ini menyebabkan anak gw gak bisa melakukan manajemen waktu dengan baik. Sampai sekarang hal ini masih jadi problem di rumah kami. Karena tidak ada tugas/pe'er menyebabkan anak murid jadi kurang minat membaca, karena setiap soalan yang diberikan, jika murid tidak paham, guru akan memberikan pendampingan terhadap sang anak, sampai si anak bisa menjawab soalan tersebut berdasarkan logikanya. Alhasil, si anak bisa kasih jawaban tebakan, jika benar, guru bilang iya, jika tidak, guru bilang bukan itu, dan si anak bisa kasih jawaban lain yg kira² sesuai, sampai akhirnya menjadi jawaban yang benar #cmiiw 

Malas membaca! Mungkin itu yang terjadi pada beberapa murid sekolah swasta belakangan ini, karena posisi murid yang seolah² lebih tinggi daripada guru, sehingga guru terkesan harus memberikan pelayanan pendidikan agar sang murid bisa memberikan jawaban yang benar terhadap suatu soalan. Bukan mencari sendiri jawaban atas suatu soalan tersebut. Ini benar² terjadi kawan²!

Di lain pihak, gw bersyukur karena memindahkan anak gw saat kenaikan kelas 4 yang lalu.. Gak kebayang kalo seandainya gw biarkan anak gw sekolah di sana sampai lulus dan masuk SMP Negeri. Berat! Sangat berat adaptasi yang harus dilakukan anak gw untuk mengejar ketertinggalannya terhadap kemampuan memahami bacaan dan mencari solusi/jawaban melalui bacaan selama 6 tahun sekolah di sana. 

Di sini gw hanya sekedar menceritakan apa yg tengah gw alami bersama anak gw, bukan mendiskreditkan institusi pendidikan tertentu. Gw yakin, masih ada institusi pendidikan swasta lain yang benar² menghasilkan generasi yang kritis dan gemar membaca. Gw hanya sekedar sharing, bahwa mungkin yg gw alami ini, ada juga rekan² orangtua lain yg mengalaminya.. Gw berharap bisa sharing cara, bagaimana mengejar ketertinggalan ini dan menaklukkan masalahnya, sekian.

Wassalam, orangtua yang sedang tertekan karena urusan pendidikan anaknya sendiri.